Jumat, 26 Oktober 2012

“Sejarah Idul Adha”



Kata Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai nabi Ibrahim dan nabi Ismail alaihimus salam. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin.Dalam surah Ash Shaffat 100-111, Allah swt menggambarkan kejujuran nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban.

Indikatornya dua hal:

Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya. Ini nampak ketika nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung menawarkan perintah tersebut kepadanya. 

Allah berfirman: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpibahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”.

Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketikA menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamuakan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah. Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).” Inilah pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan seorang ayah dengan jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu. Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak, melainkan kedua belah pihak baik dari Ibrahim maupun Ismail. Di sanalah hakikat kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan. Karenanya pada ayat 100 setelah itu, Allah menegaskan bahwa keduanya benar-benar hamba-Nya, Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah, al fauriyyah dan shidqul istislam

Nabi Ibrahim dan nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah swt. yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu diperbincangkan lagi. Bahkan Allah swt, mengabadikannya dengan menjadikan hari raya Idul Adha. Supaya semua hambaAllah setiap tahun selalu bercermin kepada nabi Ibrahim dan nabi Ismail. Dengan demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu, membangun semangat kehambaan nabi Ibrahim dan nabiIslamil dalam kehidupan sehari-hari. Syariat berkurban merupakan warisan ibadah yang paling tua. Karena berkurbanmulai diperintahkan saat Nabiyullah Adam ‘alaihis salam tidak menemukan carayang adil dalam menikahkan anak-anaknya yang kembar. Meskipun sudahdiputuskan menikah secara silang. Sampai akhirnya Allah swt mewahyukan agar kedua anak Adam, Habil dan Qabil melaksanakan kurban untuk membuktikan siapa yang diterima. Habil berkurban dengan ternaknya –unta- dan Qabil berkurban dengan tanamannya gandum. Sampai disini Allah swt sebenarnya ingin menguji hamba-hamba-Nya, mana yang dengan suka-rela menerima perintahnya, dan mana yang menentangnya. Habil dengan ikhlas mempersembahkan kurbannya dan karenanya diterima. Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam menjalankan perintah berkurban, tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia membunuh saudaranya, inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar. ”Rangkaian kisah hebat itu Allah swt rekam dalam Al-Qur’an, “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yangamat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalammimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” iamenjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalahkesabaran keduanya ). Dan kami panggillah dia: “Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamuTelah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasankepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujianyang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kamiabadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datangKemudian. (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah kamimemberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” A(s-Shaffat:100-110)Syariat itu kembali diaktualisasikan oleh nabi akhir zaman, NabiyullahMuhammad saw dan kita sebagai umatnya. Perintah itu digambarkan dalam surat pendek, surat Al-Kautsar: 1-3“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Makadirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orangyang membenci kamu dialah yang terputus.”
 
Sebelum Allah swt memerintahkan berkurban, terlebih dulu Allah swtmengingatkan betapa nikmat pemberian Allah swt begitu banyak “Al Kaustar”, atau juga berarti telaga kautsar di surga.Kalau kita mencoba merenung, nikmat Allah swt yang besar adalah nikmatdiciptakanya kita sebagai manusia. Makhluk Allah swt yang paling mulya dan paling baik bentuknya, “ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yangsebaik-baiknya.” (At-Tiin:4) Nikmat menjadi peran khalifatullah fil ardli, perwakilan Allah swt untuk memakmurkan bumi dan isinya. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada paramalaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”(Al-Baqarah:30) Nikmat anggota badan yang begitu menakjubkan dan luar biasa. Betapa sangat mahalnya kesehatan itu ketika satu mata dihargai ratusan juta. Makanya Allah swt kembali mengingatkan “Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?”(Adz-Dzariyat:21)Dan yang paling besar anugerah Allah swt adalah nikmat Iman dan Islam. Inidigambarkan Allah sendiri, ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”(Al-Ma’idah:3)Setelah Allah swt menyebut nikmat-nikmat yang begitu banyak itu, Allah swtmengingatkan hamba-hamba-Nya agar mau melaksanakan perintah-perintah-Nya: perintah shalat lima waktu atau shalat Idul Adha dan berkurban sebagai bukti rasasyukur kepada-Nya.
 
Bahkan Rasulullah saw memerintahkan berkurban dengan bahasa yang tegas dan lugas bahkan disertai ancaman. Ancaman untuk tidak dekat-dekat dengan tempat shalat atau dengan istilah lain tidak diakui menjadi umat Muhammad “Dari Abu Hurairah ra., nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri(mendekati) tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah). Berkurban tidak sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong hewan kurban, namun lebih dari itu, berkurban berarti ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal yangdilarang-Nya.Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu perintah, apakah iadengan berbaik sangka kepada-Nya dan karenanya melaksanakan dengan baik tanparagug-ragu? Laksana Nabiyullah Ibrahim. Berkurban adalah berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berkurban. Atau seperti Qabil yang menuruti logika otaknya dan kemauan syahwatnya, sehingga dengan perintah berkurban itu, ia malah melanggar perintah Allah swt dengan membunuh saudara kembarnya sendiri? Ia berusaha mensiasati perintah Allahswt dengan kemauannya sendiri yang menurutnya baik. Namun di situlah letak  permasalahannya: ia tidak percaya perintah Allah swt.? Berkurban juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh kepada kemunkaran dan kejahatan.
 
Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berkurbandengan ilmunya. Pengusaha ia berkurban dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berkurban demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpinia berkurban untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya. Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan kelompok, atau keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok namun bertentangan dengan perintah Allah swt. Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini. Biidznillah. Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya,”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkanAllah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj:37)


REFERENSI          :
               
Anonim. 2009. Sejarah Idul Adha. http://www.scribd.com/doc/24161023/Sejarah-Idul-Adha (26 Oktober 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar